Minggu, 20 November 2022

7 Rekomendasi Pantai Biru yang Indah di Bangka Selatan




Musim liburan segera tiba! Jika kamumerencanakan liburan dekat dengan lautan, tak ada salahnya mengunjungi pantai biru yang indah. Lautan biru, hamparan pasir putih yang luas, serta pohon hijau yang menghiasi menjadi alasan pantai menjadi tempat cukup populer untuk berlibur.

Salah satunya Bangka Selatan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan destinasi wisata pantai yang memanjakan mata dengan lautan biru yang ciamik.

Agar nuansa liburanmu lebih khidmat, kamu juga bisa mendatangi pulau kecil di sekitarnya yang menawarkan keasrian alam yang mengagumkan. Bahkan di antaranya menampilkan pengalaman melihat sunset secara langsung yang spektakuler.

Berikut sejumlah destinasi wisata pantai di Bangka Selatan yang bisa dijadikan pilihan destinasi berlibur.

1. Pantai Batu Kapur

7 Rekomendasi Pantai Biru yang Indah di Bangka Selatan
Wisatabangkaselatan.com

Pantai Batu Kapur masuk list wajib destinasi wisata di Bangka Selatan yang kamu kunjungi. Bertempat di Kecamatan Toboali, Bangka Selatan, pantai ini memiliki pasir putih yang lembut dengan lautan biru dan menjadi rumah bagi biota laut yang cantik. Pantai ini juga menjadi lokasi sentra kuliner yang menjajakan aneka hidangan khas Kepulauan Bangka.

Setelah puas bermain di pantai, kamu bisa mengisi perutmu dengan menikmati hidangan seafood di warung makanan di sepanjang pantai. Semakin nikmat, kamu juga bisa bersantai sambil menyedot kelapa muda dan menikmati pengalaman menyaksikan sunset di sana.

2. Pantai Batu Perahu

7 Rekomendasi Pantai Biru yang Indah di Bangka Selatan
Direktori Pariwisata Kemenparekraf

Berbeda dengan kebanyakan pantai di Bangka Selatan, Pantai Batu Perahu justru menarik perhatian para wisatawan dengan bongkahan batu granit besar yang membentuk perahu. Bongkahan batu ini bertempat di bibir pantai yang menjadi spot strategis bagi pengunjung untuk berswafoto ria di sana. Pantai ini juga menjadi rumah bagi ikan laut yang cantik. Kamu juga bisa melakukan kegiatan seru di sini, seperti memancing ikan di dermaga dan menyaksikan matahari terbenam.

Mengutip Direktori Pariwisata, pantai yang berlokasi di Desa Tanjung Ketapang, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan ini cukup ternama ikonik di kalangan pecinta laut dan pantai.

3. Pantai Kelisut

7 Rekomendasi Pantai Biru yang Indah di Bangka Selatan
Pesona Travel

Berlokasi di 1,5 kilometer dari pusat Kota Toboali, Pantai Kelisut menjadi destinasi yang mudah dicapai oleh wisatawan. Untuk bisa ke pantai ini, kamu bisa mendatanginya dengan kendaraan roda dua atau empat.

Letaknya bersebelahan dengan Pantai Batu Perahu ini juga menawarkan taman hutan mangrove yang hijau. Tak heran, pantai ini memiliki pasirnya putih yang luas dengan beberapa area berlumpur. Hadirnya monyet bersifat ramah di pantai ini juga menjadi daya magis yang dapat menarik wisatawan.

4. Pantai Lampu

7 Rekomendasi Pantai Biru yang Indah di Bangka Selatan
Pesona Travel Indonesia/Adhim Maulana

Di balik indahnya pemandangan Pantai Lampu, ternyata menyimpan sejarah yang panjang. Konon, pada masa penjajahan Belanda, terdapat semacam tiang mercusuar yang berdiri kokoh sebagai penanda arus perjalanan kapal-kapal. Semenjak itu, pantai ini dinamai Pantai Lampu.

Pantai Lampu berlokasi di Desa Tanjung Labu, Kecamatan Lepar Pongok, Kabupaten Bangka Selatan.

Keindahan lingkungannya bisa dilihat dari asrinya laut dengan air biru jernih, pantai yang landai dan hamparan pasir putih halus yang luas. Kamu juga bisa bersenang-senang dengan menikmati aktivitas seru seperti berenang, memancing, atau sekadar menikmati indahnya pantai.

5. Pantai Belawang

7 Rekomendasi Pantai Biru yang Indah di Bangka Selatan
Google.com/Andi Junaidi

Pantai Belawang berlokasi di Kecamatan Lepar Pongok, Kabupaten Bangka Selatan ini menawarkan pengalaman menikmati pantai tersembunyi yang belum begitu terjamah oleh banyak orang.

Dengan lanskap alam yang asri, kontur pantainya yang landai, pasir putih yang indah membuat destinasi wisata ini menjadi hidden gem bagi pecinta travelling. Deretan bebatuan granit pun turut menghiasi bibir pantai. Hamparan air jernih dan suci dari polusi membuat kita bisa menyaksikan karang hijau di dasar pantai dengan oleh mata telanjang.

6. Pantai Tanjung Labun

7 Rekomendasi Pantai Biru yang Indah di Bangka Selatan
Kompasiana

Sekitar 35 menit dari pusat Kota Toboali, terdapat Pantai Tanjung Labun yang terletak di Desa Serdang. Ciri khas pantai ini terletak pada harmonisnya bebatuan besar dan hamparan pasir putih yang tampak berpaut memesona. Hutan rimbun yang mengelilingi pantai tentu menambah kesejukan di sekitarnya dan kerap dijadikan lokasi kemah bagi para wisatawan.

Awalnya, pantai ini merupakan kawasan hutan liar tanpa penghuni di Desa Serdang. Demi menambah daya tarik wisatawan, pemerintah Bangka menyulap hutan ini menjadi objek wisata pantai. Tak hanya itu saja, pemerintah Bangka Selatan juga turut menggenjot perekonomian rakyat dengan mempromosikan produk UMKM lokal lewat bazar maupun kedai-kedai kecil di sekeliling pantai.

Di sisi lain, Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Serdang tetap berupaya mempertahankan kealamian di kawasan itu. Dengan fasilitas perlengkapan sewa seperti tenda dan tikar, banyak pengunjung turut menjajal aktivitas outdoor di sini, salah satunya berkemah.

7. Pantai Nek Aji

7 Rekomendasi Pantai Biru yang Indah di Bangka Selatan
Google.com/Andri Sitompul

Deretan pantai terindah di Bangka Selatan lainnya adalah Pantai Nek Aji. Lokasinya yang dekat dengan pusat kota, menjadikan pantai ini sering dimanfaatkan sebagai tempat penyelanggaraan berbagai kegiatan, misalnya acara festival, bazar, atau pesta rakyat. Semakin ikonik, pantai ini juga berdekatan dengan Benteng Toboali, tempat pertahanan pemerintah kolonial Belanda yang didirikan pada tahun 1825.

Bertempat di Desa Tanjung Ketapang, pantai ini cukup strategis untuk digapai melalui transportasi roda dua maupun empat. Pantai ini beriaskan pepohonan rindang yang memutari kawasan sehingga pengunjung dapat berteduh di tengah teriknya matahari saat menikmati panorama pantai.

Kepulauan Derawan yang Menawan dari Lautan hingga Daratan

 “Kapalnya yang itu ya, nanti kita 3 jam perjalanan untuk sampai di Maratua. Dibikin enak aja posisi duduknya biar bisa tidur, oke?”, ujar Abang yang menjemput kami dari Bandara Kalimarau, Tanjung Redeb ke pelabuhan kapal menuju Kepulauan Derawan.

Setelah hampir 3 jam menghabiskan waktu, duduk di kursi speedboat berisikan 12 orang, akhirnya saya dan rombongan tiba di Pulau Maratua. Cuaca sedang cerah bersahabat dan laut tenang sekali sehingga speedboat yang membawa rombongan kami melaju kencang tanpa hambatan dan saya tertidur pulas di perjalanan (bawalah bantal leher agar bisa nyaman tidur meski posisi duduk ya~).

 

Tiba di Pulau Maratua

Begitu menginjakkan kaki di dermaga Green Nirvana Resort, akomodasi yang saya tempati selama berlibur di Maratua, sudah terlihat jelas jernih lautnya, warna-warni terumbu karang dan seekor penyu yang sedang asyik berenang di permukaan laut. Wow… wow… wow… rasa-rasanya mau langsung menceburkan diri ke dalam laut waktu itu namun akhirnya cuma bisa dadah-dadah sama penyu, haaiiii penyuuuu haiiii, nanti sama-sama yaaaa kita berenang!

Green Nirvana Resort
Ini view drone Green Nirvana Resort

Maratua atau Kepulauan Derawan memang dikenal sebagai salah satu habitat penyu hijau dan penyu sisik di Indonesia dan penyu memang sering menampakkan diri di dekat dermaga saat pagi dan sore hari. Pemandangan itu membuat saya juga tidak sabar untuk memakai perlengkapan scuba diving saya dan bertemu dengan semua makhluk hidup di bawah sana. Tak ayal, Maratua kini dikenal sebagai salah satu primadona lautan dan jadi destinasi impian bagi siapa saja yang menyukai keindahan bawah laut karena beragam diving spot yang beragam dan memesona.

Bagi yang belum bisa menyelam, tak perlu khawatir karena pesona alam daratannya juga tak kalah indah kok. Bermain di pantai pasir putihnya atau snorkeling di perairan dangkalnya juga bisa menjadi pilihan aktivitas yang menyenangkan. Sayang sekali kalau sudah jauh-jauh ke Kepulauan Derawan namun tidak berenang di lautan kan ya?

Maratua adalah salah satu pulau dari gugusan Kepulauan Derawan di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Untuk mencapainya, kalian bisa memilih terbang ke Berau atau Tarakan lalu melanjutkan perjalanan dengan kapal speedboat selama kurang lebih 2-3 jam. Siapkan amunisi untuk bersantai selama perjalanan memakai kapal agar tidak bosan ya.

Plesiran di Pulau Maratua atau Derawan, kalian bisa memilih untuk menginap di rumah panggung atas laut, yang merupakan ciri khas dari akomodasi di Kepulauan Derawan. Ada sensasi berbeda ketika bisa tidur dengan buaian ombak yang pas untuk relaksasi saat liburan. Namun tetap ada banyak pilihan akomodasi di area daratan yang lebih dekat dengan pemukiman penduduk, memungkinkan kita untuk berinteraksi dengan masyarakat lokal, terutama di area Pulau Derawan.

Mampir ke Pulau Derawan
Kami sempat mampir di Pulau Derawan meski tak menginap. Aku sih mau kembali lagi dan menginap di sini hehehe…

Ada beragam destinasi menarik di Kepulauan Derawan yang bisa kalian sambangi. Di Maratua sendiri, ada beberapa diving spot yang menjadi destinasi favorit para penyelam seperti Turtle Traffic, Eel Garden, Lighthouse, Hanging Garden, Fusilier, Cabbage Garden, Jetty Dive dan masih banyak lagi.

Spot yang paling diincar adalah The Channel, dikenal berarus kencang namun menjadi lokasi favorit untuk bertemu ikan-ikan besar dan gerombolan Barracuda yang jumlahnya bisa mencapai ribuan.

Wah, terbayangkah kalian rasanya berenang dengan ribuan ikan-ikan di satu tempat? Pasti luar biasa ya rasanya. Namun untuk mencoba aktivitas tersebut, penyelam harus memiliki lisensi diving minimal di tingkat advance dan harus berpengalaman menyelam di arus kencang, ya.

Bagi yang belum bisa menyelam, bisa snorkeling di beberapa spot juga kok, tetap terlihat jelas karena visibility sangat yang jernih, mungkin sekitar 30 meter.

 

Bercermin di Goa Halo Tabung

Selain berwisata di laut, kalian bisa berkunjung ke Goa Halo Tabung yang dulunya bernama Goa Haji Mangku. Goa ini memiliki kolam kecil dengan air kehijauan berkedalaman 40 meter.

Goa Halo Tabung menjadi destinasi favorit di Maratua karena pengunjung bisa merasakan sensasi loncat dari bibir tebing dan menceburkan diri ke air dingin nan segar. Bila nyali ciut, bisa juga mencoba berenang dari mulut goa yang lebih rendah dengan turun perlahan lewat tangga. Begitu masuk ke dalam air, kalian bisa mencecap air payau-nya yang terasa sedikit asin.

Silakan berpuas diri berenang di dalam air dan mungkin ada yang jadi sedikit gugup melihat dasar goa yang gelap. Tapi saking jernih airnya, kita bisa bercermin di permukaan airnya dan sebenarnya cocok dinamakan Goa Cermin saja hahahaha.

Satya Winnie menyelam di Goa Halo Tabung
Ini salah satu foto favoritku dari Goa Halo Tabung karena aku harus berpose tanpa alat selam apapun. Seru sekali!
Satya Winnie dan Stuart Collin
Bareng sama Stuart Collin yang juga jadi teman jalan waktu itu.

Diving di Kepulauan Derawan

 

Bermain bersama Ubur-Ubur Kakaban yang tak menyengat

Selain Pulau Maratua, Jangan lupa menyambangi Pulau Kakaban, Pulau Derawan, Pulau Sangalaki yang juga menyuguhkan pemandangan yang spektakuler.

Favorit saya adalah Danau Kakaban yang dipenuhi ubur-ubur tidak menyengat. Siapapun boleh berenang dengan ubur-ubur tersebut namun harus menaati kode etik seperti berenang tanpa memakai fins atau kaki katak, tidak menggunakan tabir surya dan juga tidak meloncat dari dermaga ke danau saat akan berenang.

Semua pengunjung diharapkan berenang dengan tenang agar ubur-ubur tidak terganggu. Pun semua aturan tersebut diberlakukan untuk menjaga keberlangsungan hidup mereka dikarenakan ubur-ubur tidak menyengat itu sangatlah rapuh dan mudah hancur jika terkena zat kimia atau tersepak oleh kaki katak kita.

Ubur-ubur tak menyengat di Kakaban
Ubur-ubur tidak menyengat ini sangat menggemaskan dan kita juga harus hati-hati saat berenang dengan mereka, ya.

Jika sudah puas temu sapa dengan ubur-ubur, kalian bisa mengunjungi penyu di Pulau Sangalaki. Pulau ini memang dikenal sebagai habitat dan tempat bertelur penyu sisik dan penyu hijau. Jika datang di saat yang tepat, teman-teman bisa mengikuti kegiatan pelepasan tukik ke lautan lepas bersama dengan petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) di sana.

Selain yang disebutkan di atas, satu lokasi yang juga sedang naik daun di Kepulauan Derawan adalah area Talisayan di mana pengunjung bisa bertemu dengan Hiu Paus (Whale Shark).

Hiu Paus ini sering berenang di sekitaran bagan nelayan. Ketika nelayan melepaskan ikan-ikan kecil yang terjerat di jala mereka, biasanya akan dilepas lagi dan di saat itulah hiu paus sigap untuk memakannya. Bila bertemu dengan hiu paus, kita juga harus menaati kode etik seperti tidak berenang terlalu agresif dan menyentuh hiu paus.

Jagalah jarak aman sekitar 5 meter jika berenang dengan makhluk laut yang terkenal ramah itu. Biasanya mereka terlihat di perairan Derawan di bulan-bulan Desember hingga April.

Pengalaman Nge-Trip Ke Pulau Peucang, Ujung Kulon by Nonanomad.com

 


Kalau dengar nama Ujung Kulon, saya teringat dengan palajaran pas sekolah dulu. Taman Nasional Ujung Kulon adalah rumah bagi hewan yang dilindungi yaitu badak bercula satu. Karena penasaran akhirnya saya ikutan open trip ke Pulau Peucang dari Jakarta.

Taman Nasional Ujung Kulon terletak di Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglan, Provinsi Banten.

Kalau dari peta memang kelihatannya dekat dari Jakarta.

Jangan salah, untuk menuju ke Ujung Kulon membutuhkan waktu yang cukup lama yaitu sekitar 6 jam.

Apalagi jalanannya juga cukup rusak.

Kalau menggunakan mobil pribadi, dari Jakarta bisa lewat tol Jakarta – Merak atau tol Jakarta – Tangerang, kemudian keluar di Serang Timur.

Perjalanan dilanjutkan dengan menelusuri Jalan Pandeglang – Labuan – Sumur, totalnya 228KM.

Setelah sampai di Sumur, perjalanan akan dilanjutkan ke Pulau Peucang menggunakan kapal.

Cara menuju ke Pulau Peucang

Ada beberapa cara untuk berwisata ke Pulau Peucang yang juga terletak di Taman Nasional Ujung Kulon yaitu:

1. Cara menuju Pulau Peucang dengan open trip

Wisata Pulau Peucang di Taman Nasional Ujung Kulon cocok untuk weekend trip.

Saya sarankan sih ikutan open trip yang diselenggarakan trip organizer.

Berapa sih harga open trip ke Pulau Peucang?

Saya ikutan trip selama dua hari dengan biaya Rp 650,000 per orangnya sudah termasuk:

  • Transportasi dari Jakarta ke Pulau Peucang PP
  • Sharing penginapan semalam di Pulau Peucang
  • Kapal untuk snorkeling atau hopping island
  • Makan
  • Pemandu
  • Biaya tiket masuk, dll

Untuk sewa alat snorkeling biasanya ada yang memang sudah termasuk pake tur, ada juga yang nambah Rp 50,000 untuk alat snorkeling.

Sebenarnya sih kalau dihitung kasarnya total trip tiga hari.

Soalnya berangkat biasanya Jumat tengah malam biar sampai di Desa Sumur keesokan harinya.

2. Cara menuju Pulau Peucang dengan transportasi umum

Menuju Pulau Puecang dengan transportasi umum dari Jakarta bisa menggunakan kereta dari Stasiun Tanah Abang tujuan Rangkasbitung dan berhenti di Serang.

Selain menggunakan kereta api, bisa juga menggunakan Bus Primajasa dari Terminal Kampung Rambutan dengan Tujuan Serang.

Setelah sampai di Serang, harus cari elf lagi dengan tujuan Desa Sumur.

Kalau memang mau organize sendiri, usahakan untuk cari teman-teman biar bisa sharing cost di kapalnya.

Harga untuk sewa kapal dari Desa Sumur keliling Taman Nasional Ujung Kulon adalah Rp 3,000,000 selama dua hari dengan kapasitas 25 orang.

Selain itu kamu juga harus mikirin tentang penginapan juga. Kalau mau murah sih bisa nginap di Desa Sumur.

Banyak homestay dengan variasi harga sekitar Rp 200,000 semalamnya.

Kalau ikutan tur biasanya nginep di Pulau Peucang langsung.

Harga untuk kamar atau pondokkan di Pulau Peucang per malamnya Rp 500,000.

Jujur sih kalau memang enggak mau ribet, ikutan open trip aja.

Seru juga kan bisa nambah teman baru dan enggak repot juga.

Harganya juga masih termasuk bersahabat kalau startnya dari Jakarta.

Pengalaman snorkeling di Ciapus, Citerjun, dan Legin Coba

Nah, sekarang kita masuk ke bagian yang seru yaitu snorkeling.

Awalnya saya tidak berharap banyak tapi ternyata keindahan bawah laut Pulau Peucang melebihi ekspektasi saya.

Rombongan kami snorkeling di beberapa spot seperti Ciapus, Citerjun, dan Legin Coba.

Visibility air nya tidak terlalu bagus sih tapi terumbu karangnya lumayan bagus.

Banyak sekali ikan-ikan berkelompok, kayak lagi meeting aja, haha.

Sambil berenang, saya mengejar ikan-ikan lucu ini dan menikmati keindahannya.

Setelah menginjakkan kaki di Pulau Peucang, rasanya beda gitu pemandangannya. Lebih mirip hutan daripada pantai.

Pantainya bersih dan cantik, apalagi cukup unik karena kehadiran hewan liar.

Terlihat monyet, babi hutan, rusa, dan juga kadal yang lagi bersantai di sekitar penginapan.

Menarik sih, saya belum pernah ngalami yang beginian sebelumnya.

Tidak perlu khawatir karena binatang ini tidak ganggu kok.

Pengalaman trekking di Cidaon dan Tanjung Layar

Aktivitas lain yang kami lakukan selain snorkeling adalah trekking ke Cidaon dan Tanjung Layar.

Spot Tanjung Layar untuk melihat sunset, sedangkan Cidaon itu seperti padang savana yang luas. Kalau beruntung bisa melihat banteng.

Kepengen banget bisa melihat badak bercula satu. Tapi sayangnya pemandu saya bilang langka sekali bisa melihat badak.

Bahkan para peneliti harus menunggu dua sampai tiga minggu untuk melihat badak bercula satu.

Saya juga kaget ketika mendengar bahwa ternyata jumlah badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon hanya ada sekitar 50 ekor saja.

Sisanya, 8 badak jawa bisa ditemukan juga di Taman Nasional Cat Tien, Vietnam.

Sebagai salah satu jenis mamalia, badak hanya bisa bereproduksi dalm 4-5 tahun.

Ya, inilah hasil dari kerakusan manusia yang memburu binatang yang tidak berdaya ini sebagai alat untuk menghasilkan uang.

Margasatwa liar ini seharusnya dilindungi, bukan untuk disakiti.

Secara keseluruhan sih fasilitas di Pulau Peucang cukup memadai.

Pondok-pondok yang sederhana dilengkapi dengan kamar mandi dan air yang bersih.

Pengalaman ini cukup berkesan bagi saya karena bisa merasakan hutan dan pantai di saat yang bersamaan.

Bersatu dengan alam dikelilingi binatang. Berbagi pengalaman seru bersama-sama.

Berwisata ke Pulau Peucang, Taman Nasional Ujung Kulon wajib banget dicoba!

Pesona Bahari di Caribbean Van Java

 


Halo, Gaes!


Memiliki area perairan yang luas emang jadi bonus demografi buat Indonesia. Bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan, tapi keindahan laut negeri ini pun menjadi magnet terutama bagi geng pecinta wisata bahari.

Nah! Kalo lo termasuk ke dalam geng itu, destinasi berikut bisa jadi rekomendasi.

Namanya Karimunjawa. Betul banget! Destinasi wisata ini terletak di Pulau Jawa, tepatnya di kawasan Laut Jawa yang termasuk dalam Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.

Menurut cerita, Karimunjawa ditemukan oleh Sunan Nyamplungan. Pada saat itu, Sunan Nyamplungan atau yang memiliki nama kecil Amir Hasan, diperintahkan untuk pergi ke pulau yang kremun-kremun (kabur) jika dilihat dari puncak Gunung Muria. Dari sinilah, nama Karimunjawa berasal.

Karimunjawa merupakan gugusan kepulauan yang terdiri dari beberapa pulau, gosong (timbunan pasir yang terkurung perairan), dan taka (pulau kecil berupa hamparan pasir yang hanya muncul saat laut surut).

Banyaknya pulau di Karimunjawa mengingatkan Belanda pada Karibia. Makanya, Karimunjawa dijuluki sebagai Caribbean van Java.

Pulau di Karimunjawa memang berjumlah 27, tapi hanya 5 yang berpenghuni. Salah satu pulau terbesar yang ada di gugusan ini memiliki nama yang sama dengan kepulauannya, yaitu Karimunjawa.

Ada dua cara yang bisa lo tempuh untuk menuju destinasi Pariwisata Indonesia ini. Yang pertama via udara, dengan menempuh penerbangan dari Bandara Ahmad Yani, Semarang menuju Bandara Dewandaru, Kepulauan Karimunjawa.

Cara kedua menuju Karimunjawa yaitu via penyeberangan laut dari Pelabuhan Tanjung Mas di Semarang atau Pelabuhan Kartini di Jepara menuju Pelabuhan Karimunjawa.

Sebagai catatan, kapal-kapal yang menuju Karimunjawa punya jadwal khusus, ya Gaes ya.

Selain itu, jika cuaca tidak bersahabat, ada kemungkinan penyeberangan lo bisa ditunda. Jadi, sangat penting buat lo untuk mencari tahu hari dan jam keberangkatan kapal, serta memilih musim yang bersahabat.

Untuk menempuh jalur via laut, lo bisa memilih speedboat dengan waktu tempuh 2-3 jam atau kapal fery dengan waktu tempuh 5-6 jam. Kalo berencana membawa kendaraan pribadi, gue saranan lo untuk naik fery karena kapal ini membolehkan mobil dan motor untuk ikut penyeberangan.

Membawa kendaraan pribadi ke Karimunjawa bukanlah suatu keharusan. Karena di pulau ini, banyak tersedia rental kendaraan bermotor yang bisa lo pilih.

Buat si anti ribet-ribet club, lo bisa mempercayakan liburan lo di Karimunjawa pada agen-agen travel yang tersedia. Selain menyiapkan akomodasi, transportasi, dan konsumsi, mereka juga akan mengatur itinerary lo selama di Karimunjawa, termasuk menjadi guide atau pemandu wisata.

Terlepas dari berwisata dengan guide maupun sendiri, ada beberapa spot di Karimunjawa yang enggak boleh lo lewatkan, Gaes.

Pertama adalah pantai. Karena merupakan wilayah kepulauan, so pasti Karimunjawa memiliki banyak area pantai. Ada Pantai Bobi, Legon Lele, Pantai Nirwana, Pantai Barakuda, Pantai Geleang, Pantai Ujung Gelam, Pantai Batu Topeng, dan Pantai Batu Karang Pengantin.

Pantai-pantai di Karimunjawa memiliki keunikan tersendiri, dari pasir putih yang lembut, perairan yang dangkal, hingga air laut yang tenang. Selain bermain di pantai, lo juga bisa mengunjungi gosong dan taka yang ada di kepulauan ini. Jangan lupa mengambil gambar, ya, karena pemandangannya emang kece badai.

Tempat berikutnya yang harus lo datangi spot-spot snorkeling, misalnya Taman Nemo di mana lo bisa berfoto dan melihat langsung ikan-ikan badut yang lucu ini. Ada juga Secret Garden, tempat di mana lo bisa melihat beraneka ikan kecil yang sedang berenang di area terumbu karang.

Eits, saat bermain di spot-spot snorkeling ini, pastikan agar lo enggak menginjak terumbu karang, ya Gaes ya. Soalnya, butuh waktu lama bagi terumbu karang yang patah untuk memulihkan diri. Selain itu, sebisa mungkin tahan keinginan lo untuk menyentuh ikan-ikan kecil di sini. Hal ini penting banget, biar mahluk-mahluk kecil tersebut tidak merasa terganggu dan tetap merasa nyaman meski banyak manusia yang bertamu ke rumah mereka.

Buat yang punya nyali besar, lo bisa berkunjung ke penangkaran hiu di Pulau Menjangan Besar. Di sini lo diperbolehkan masuk ke area penangkaran dan merasakan sensasi sekolam dengan hiu-hiu muda.

Satu lagi yang perlu dicatat, bahwa Karimunjawa bukan sekedar wisata laut dan pantai aja, tapi lo juga bisa trekking di hutan mangrove yang ada di Pulau Kemujan. Jalur khusus sepanjang 2 kilometer bisa lo manfaatin untuk menikmati keindahan pohon-pohon menjulang ini.

Pesona Rinjani yang Menawan Hati

 


Spot Pariwisata Indonesia emang ibarat surga khususnya bagi para pecinta alam dan yang hobi naik gunung. Banyaknya gunung dengan keindahan dan tantangan masing-masing rasanya membuat kita ingin segera menjelajah dan menaklukannya, seperti gunung yang satu ini, Gunung Rinjani.

Gunung Rinjani ini berlokasi berada di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Gunung dengan ketinggian 3.726 mdpl ini termasuk salah satu geosite di kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani dan pada tahun 2018 telah diakui sebagai salah satu UNESCO Global Geopark.

Bagi penduduk lokal, Gunung Rinjani adalah tempat keramat dimana Dewi Anjani tinggal. Hingga saat ini, masyarakat sekitar khususnya yang beragama Hindu, masih menggelar ritual kepada Dewi Anjani terutama untuk meminta hujan turun ke bumi.

Ada dua rute yang umumnya digunakan para pendaki untuk menuju puncak Rinjani. Rute pertama adalah Rute Senaru. Rute ini melewati hutan tropis yang cukup lebat sehingga lo enggak akan kepanasan di siang hari. Tapi rute ini sedikit lebih menantang karena hampir tidak ada trek mendatar. Semua berupa pendakian yang curam.

Rute kedua yang bisa lo pilih adalah Rute Sembalun. Ini menjadi rute favorit terutama bagi pendaki pemula. Meski jaraknya lebih jauh tapi banyak trek yang landai dan membuat lo tidak terlalu kelelahan. Tantangan utama yang lo hadapi adalah jalur padang savanna yang meskipun sangat indah tapi membuat lo enggak bisa berlindung dari terik matahari di siang hari.

Terlepas dari rute manapun yang lo pilih, keduanya menawarkan pengalaman dan pesona tersendiri. Enggak heran kalo banyak wisatawan baik lokal maupun asing yang datang untuk menaklukan Rinjani. Bahkan banyak yang melakukannya berulang kali, loh.

Ketika lo tiba di Puncak Rinjani dan menyaksikan matahari terbit, rasa-rasanya semua jerih payah lunas terbayarkan. Bahkan jika cuaca sedang cerah, lo bisa melihat landscape Pulau Lombok dan Bali.

Agar tidak tersesat, gue nyaranin lo menyewa guide lokal. Selain mengantarkan hingga Puncak Rinjani dan ketika turun, para guide ini juga akan memastikan keselamatan lo.

Buat yang enggak kuat memanggul beban berat, tersedia juga porter yang akan membawa perlengkapan lo selama mendaki Rinjani. Para porter ini juga akan mendirikan tenda, mengambilkan air, termasuk memasak untuk lo.

Lo bisa menyewa para guide dan porter ini di travel-travel agen pendakian Rinjani seperti Lombok Travel Agency.

Oh ya, Gaes. Gue mau spill sedikit sejarah tentang Rinjani. Menurut para geologis, Gunung Rinjani berasal dari Rinjani Tua atau dikenal juga dengan nama Samala. Gunung purba ini memiliki ketinggian mencapai 5.000 mdpl. Dalam catatan lontar, gunung ini mengalami beberapa kali erupsi dan yang terdahsyat terjadi pada tahun 1257.

Erupsi dahsyat Gunung Samala disebut-sebut lebih besar dari erupsi Krakatau dan menyebabkan perubahan iklim di bumi sehingga terjadi zaman es kecil. Kegagalan panen di Eropa yang menyebabkan kelaparan massal diyakini akibat erupsi Samala.

Erupsi-erupsi Samala akhirnya menyebabkan bagian tubuh gunung tersebut hancur dan menyisakan kaldera yang membentuk Danau Segara Anak. Nama yang berarti ‘anak laut’ ini dipilih karena dari kejauhan danau ini sangat mirip dengan laut dengan air yang berwarna kebiruan.

Danau Segara Anak adalah salah satu daya tarik di Kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani. Danau yang memiliki luas 1.100 hektar dan kedalaman hingga 230 meter ini memiliki bentuk unik seperti bulan sabit. Letaknya yang berada di ketinggian 2.008 mdpl membuat Danau Segara Anak menjadi danau keempat tertinggi di Indonesia.

Selain pemandangan danau yang indah, lo juga bisa menyaksikan Gunung Barujari yang berada di tepi Danau Segara Anak. Gunung ini adalah anak Gunung Rinjani yang terbentuk berabad-abad setelah erupsi terakhir Samala. Gunung dengan ketinggian 2.367 mdpl ini masih aktif hingga sekarang dan menjadikannya sebagai gunung berapi tertinggi nomor dua di Indonesia.

Di dekat Danau Segara Anak, juga terdapat sumber air panas Aik Kalak Pengkereman Jembangan. Selain bisa mengobati kelelahan saat pendakian, berendam di air panas ini juga diyakini bisa mengobati berbagai penyakit kulit, loh.

Pesona Kepulauan Anambas yang Memikat Hati

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, keindahan laut Indonesia tidak ada habisnya. Dari Bali, Bunaken, Raja Ampat, sampai Kepulauan Gili, semuanya menawarkan keindahan laut yang sudah diakui masyarakat internasional. Selain itu, masih begitu banyak hidden gems Indonesia yang menunggu kunjungan dari Wegonesia, salah satunya adalah Kepulauan Anambas. Kepulauan yang diberi julukan Kepulauan Tropis Terbaik di Asia ini termasuk dalam Provinsi Kepulauan Riau dan terletak berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan. Kepulauan Anambas yang terletak di bagian utara Kepulauan Natuna adalah pemekaran dari Kabupaten Natuna pada tahun 2008. Kepulauan ini terdiri dari gugusan pulau kecil sejumlah 255 pulau dengan tiga pulau besarnya yaitu Jemaja, Palmatak,  Siantan dan lima pulau terluar, meliputi Pulau Tokong Berlayar, Tokong Nanas, Mangkai, Damar, dan Malang Biru, yang berbatasan langsung dengan negara tetangga Malaysia dan Singapura. Sebagian besar penduduk Kepulauan Anambas berbicara menggunakan Bahasa Melayu. Anambas termasuk ke kategori daerah 3T; Terdepan, Terluar, dan Tertinggal, dengan hanya 26 pulau yang berpenghuni. 

Untuk akses ke Kepulauan Anambas, Wegonesia dapat menggunakan transportasi udara maupun laut, dengan pilihan menggunakan kapal feri, kapal cepat, atau pesawat kecil. Transportasi udara hanya memiliki jadwal penerbangan pada hari Senin dan Sabtu, dari Bandara Tanjung Pinang ke Bandara Matak Anambas selama kurang lebih 55 menit. Melalui transportasi laut, kepulauan ini dapat diakses menggunakan kapal feri dengan perjalanan kurang-lebih 9 jam dari Pelabuhan Batam ke Tarempa. 

Kalau sudah sampai di Kepulauan Anambas, kegiatan apa saja sih yang bisa Wegonesia lakukan? Tentunya, Kepulauan Anambas menawarkan berbagai objek pariwisata menarik, terutama di bidang bahari. Sekitar 97 persen dari Kepulauan Anambas adalah wilayah perairan. Nah, berikut ini kegiatan-kegiatan menarik yang bisa Wegonesia lakukan saat berada di Kepulauan Anambas.


1. Island Shopping


Saat berwisata di Kepulauan Anambas, Wegonesia bisa mencoba kegiatan island hopping. Untuk mengelilingi seluruh pulau di Anambas yang berjumlah 255 pulau, satu hari pasti tidak akan cukup. Namun, tidak perlu cemas. Pulau apa pun yang Wegonesia datangi di Anambas, pasti tidak akan mengecewakan. Setiap pulau memiliki daya tarik tersendiri yang menjadikannya spot foto anti-mainstream.

Di Pulau Siantan, Wegonesia dapat mengunjungi air terjun Temburun, air terjun tertinggi dan terbesar di Kepulauan Anambas yang terhubung langsung ke laut yang biru dengan pemandangan pulau-pulau lain di sekitarnya. Hamparan pasir putih sepanjang 7,2 km di Pantai Padang Melang dengan air yang begitu tenang seperti karpet pada bulan-bulan tertentu. Pesona Anambas juga dapat ditemukan pada laut-laut landai tidak berkarang yang dihiasi batuan granit raksasa sepanjang tepi pantai di Pulau Penjalin, Pulau Nongkat, dan Pulau Rengek. Wegonesia juga dapat mengunjungi Selat Rangsang yang diapit oleh gugusan Pulau Getah, Penjaul, Luyung, dan Penggending lalu berfoto di antara pulau-pulau tersebut.

Selain itu, Kepulauan Anambas merupakan salah satu dari dua tempat wisata bahari di Indonesia yang memiliki banyak laguna selain Raja Ampat. Pulau Bawah yang berbentuk laguna menjadi lokasi favorit untuk diving dan tersedia resor untuk menginap. Resor dengan view memesona yang tidak kalah indahnya dengan Maldives juga berdiri di Pulau Piugus. Selain itu, Pulau Durai juga menawarkan wisata konservasi penyu hijau dan penyu sisik.


2. Snorkeling & Diving


Selain menikmati indahnya pantai, berkunjung ke Kepulauan Anambas tentunya belum lengkap jika tidak menikmati keindahan alam bawah laut. Selama menaiki kapal untuk mencapai spot snorkeling dan diving, Wegonesia akan disuguhkan dengan pemandangan laut yang jernih dan pulau-pulau yang tersebar di kepulauan tersebut. Perairan Anambas memiliki terumbu karang seluas 3.705,84 hektare dengan aneka ragam terumbu karang tepi, penghalang, dan cincin. Pesona bawah laut Anambas juga dipercantik dengan kekayaan spesies ikan karang yang jumlahnya mencapai 667 spesies. Saat diving, Wegonesia dapat melihat bangkai kapal SS Igara dari Italia yang tenggelam pada 1973, Swedish Supertanker Seven Skies yang tenggelam pada 1969, kapal perang Jepang Iji Sagiri, serta dua kapal penumpang Jepang yaitu Hiyoshi Maru dan Katori Maru.

3. Menengok Pusat Budidaya Ikan

Perekonomian Kepulauan Anambas ditunjang oleh dari hasil laut dari sebagian besar penduduk yang bermatapencarian sebagai nelayan. Salah satu upaya ekonomi yang dimulai pada tahun 1992 adalah penangkaran ikan napoleon di Desa Air Sena, Kecamatan Siantan Tengah. Di penangkaran ini, Wegonesia dapat melihat budidaya ikan napoleon yang menjadi sumber penghasilan warga. Ikan ini diekspor ke Hongkong dan Singapura dengan kisaran harga Rp300.000 per kilogram. Sebagian orang percaya, makan ikan napoleon menunjukkan status sosial yang tinggi karena harganya yang mahal. Selain itu, di penangkaran ini, warga juga membudidayakan ikan kerapu yang bernilai jual tinggi. Wegonesia juga dapat mengunjungi sentra pengolahan dan budidaya ikan bilis di Desa Piabung, Kecamatan Palmatak. Di sana, ikan bilis diolah menjadi ikan kering dalam kemasan. Sangat cocok untuk oleh-oleh keluarga Wegonesia di rumah. 

4. Eksplor Kuliner dan Budaya

Setelah wisata alam di Kepulauan Anambas, Wegonesia juga dapat merasakan nikmatnya kuliner dan kekhasan budaya di kepulauan ini. Kuliner khas Kepulauan Anambas adalah mie laksa sagu yang terbuat dari tepung sagu dengan kari santan gurih dan mie tarempa, yaitu mie dengan campuran ikan tongkol. Wegonesia dapat menilik Masjid Jami’ Baiturrahim, masjid tertua di Kepulauan Anambas yang menyimpan sejarah masa penjajahan Jepang dan Vihara Gunung Dewa Siantan dengan view laut lepas di tebing berbatu, yang dapat dicapai dengan melewati puluhan anak tangga. Selain itu, Wegonesia juga dapat membawa pulang kain batik cual, yang menjadi kekhasan seni Kepulauan Anambas dan menonton tari tradisional Gubang.

EKSPEDISI PINISI DI RAJA AMPAT

 


Pinisi berbicara tentang kedigdayaan, jalan hidup, dan tradisi melaut ratusan tahun dari tanah yang kaya rempah. Dunia memandangnya dengan takjub, kadang takut. Hari ini, sejarah akbar itu sudah pudar, tapi memorinya masih menyala.

Di bawah guyuran gerimis November, saat angin muson berembus ke Australia, KLM Full Moon memulai ekspedisinya ke gugusan hijau di kepala burung Papua. Ombak menendang-nendang, membuat kapal ini limbung seperti orang mabuk. Di sekujur tubuhnya, kayu-kayu gelap saling bergesekan, berderit, menebarkan suara ranting-ranting yang retak.

Saya duduk di geladak, menatap sejumlah kapal kargo dan yacht yang menebar sauh di Pelabuhan Sorong. Dibandingkan mereka, kapal saya mirip artefak dari masa silam, dan ada banyak alasan kenapa kesan itu begitu kuat. KLM Full Moon mengadopsi arsitektur perahu perkasa dengan reputasi harum di dunia pelayaran. Kita mengenalnya dengan nama pinisi. Dunia menyebutnya schooner. Pelaut-pelaut Bugis dulu menggunakannya untuk menaklukkan lautan dalam ekspedisi niaga dan muhibah. Raja-raja mereka menaikinya untuk melawat ke kerajaan-kerajaan yang jauh di seberang samudra.

Pada 1970-an, Lawrence Blair juga sempat mencicipi kehebatan pinisi saat berlayar ke Laut Aru. Dalam misi dokumentasi yang panjang dan melelahkan, antropolog Inggris itu menumpang kapal milik saudagar asal Sulawesi. Dalam Ring of Fire, dia menulis: “Perahu Bugis adalah hibrida yang mengagumkan antara perahu orisinal pulau ini dengan galleon pembawa rempah khas Portugis dari abad ke-17.”

Dan pinisi juga punya reputasi menakutkan. Sumbangan terbaik Sulawesi selain rempah dan Habibie ini kerap dipakai untuk menyerang penjajah. Horor yang mereka tebarkan begitu mencekam sampai-sampai istilah “boogie man” muncul dalam kosakata bahasa Inggris. Di masa itu, pelaut Bugis, kaum terhormat dalam liga perompak internasional, digambarkan sebagai monster yang gemar melahap jiwa-jiwa anasir asing.

Tapi zaman kemudian berubah. Teknologi naval modern berlari kencang, jauh meninggalkan kapal-kapal layar yang bermanuver mengandalkan angin dan arus. Kisah-kisah heroik pinisi pun ditutup, kendati riwayatnya belum berakhir. Seperti totem-totem tua yang tak pernah tuntas dilibas nabi utusan langit, pinisi berhasil bereinkarnasi, menyelinap ke zaman modern, mengejawantah dalam sosok baru.

Hingga kini, pinisi masih diproduksi di tanah kelahirannya. Para pekerja ulet di Bira membuatnya mengandalkan kayu-kayu paling tangguh yang tumbuh di tanah Indonesia: ulin dan jati. Metode yang dipakai pun tetap merujuk kaidah leluhur. Saat kapal dilepas, doa-doa dirapalkan. Sebelum berlayar, kambing disembelih, lalu darahnya dibiarkan membasahi geladak. Dalam banyak kepercayaan tua, tumbal berperan menjaga pendulum keseimbangan antara kerajaan langit dan penguasa samudra. Pinisi membutuhkan kebaikan hati keduanya di laut lepas.

KLM Full Moon juga dirakit tangan-tangan terampil warga Bira. Eksteriornya mengadopsi desain orisinal: memiliki dua tiang layar dan sepasang kemudi berbentuk balok di bagian buntut. Sedangkan interior dan mesinnya memakai standar perkapalan modern. Hasilnya: kombinasi apik antara aura beringas Black Pearl dan yacht mewah milik Abramovich. Sebuah persilangan kreatif antara masa lalu dan sekarang.

KLM Full Moon kini dikelola oleh grup hotel Alila. Namanya telah diganti menjadi Alila Purnama. Di atas hotel terapung ini, saya berkelana seminggu, melompat dari satu pulau ke pulau lain, bersama sejumlah turis dari Spanyol, Jerman, Amerika, juga Jakarta. Dalam lounge yang sejuk—yang pada hari-hari berikutnya menjadi ruangan favorit kami—koki asal Bali menyuguhkan udang bakar. Kelezatannya belum bisa mencairkan suasana, tapi semua orang terlihat bersemangat menyimak Annalisa, Cruise Director. Dia berjanji, Raja Ampat telah menyiapkan serangkaian petualang seru. Ke sanalah kami meluncur.

P

urnama menyusuri Selat Dampier, mengejar menit-menit yang tersisa agar bisa mendarat di kaki Pulau Gam sebelum subuh. Selat panjang ini meminjam nama William Dampier, petualang Britania pertama yang mengeksplorasi Australia. Di awal abad ke-18, dia berlayar dari utara Timor, mengitari Papua, lalu mendarat di New Britain.

Laut masih bergolak. Kayu-kayu di tubuh kapal terus berderit. Saya menginap di kabin bernama Cirebon. Kasurnya dialasi kain batik mega mendung. Di samping saya, ada kabin Jawa, Bali, dan Madura. Terpisah di dek atas, kabin Sriwijaya. Paling mewah dan paling mahal.

Sebelum tiba di Raja Ampat, saya sudah tahu hendak menulis apa. Tentu saja, semua penulis merasakan yang sama. Sudah puluhan tahun tempat ini menuturkan tema-tema serupa: laut pirus, serakan kubah hijau, dan pantai pasir putih yang tak terhitung jumlahnya. Inilah tempat yang membuat kita malas menutup mata. Sebuah lanskap yang membuat kita menanti sinar pertama mentari dan menyesalkan datangnya senja.

Raja Ampat disusun oleh 600 lebih pulau yang tersebar di dekat garis khatulistiwa. Namun harta karun sebenarnya teronggok di bawah permukaan laut. Kepulauan ini secara yuridis masuk wilayah Papua Barat, tapi secara “de jure” merupakan Ibu Kota Segitiga Karang Dunia—kawasan dengan diversitas laut tertinggi, yang membentang dari Filipina hingga Solomon.

Di Raja Ampat hidup lebih dari 1.300 spesies ikan karang. Sekitar 75 persen spesies koral dunia merekah di sini. Bagi banyak penyelam, pergi ke Raja Ampat mungkin ibarat naik haji atau ziarah ke Jerusalem. Dan layaknya naik haji, biaya perjalanannya tidak murah. Pulau-pulau di sini tersebar di area seluas 4,5 juta hektare, setara luas Jawa Timur, dan perahu adalah moda satu-satunya untuk menyapa mereka.

Di tepian Pulau Gam, Purnama melego jangkar. Saat rantainya meluncur ke lantai laut, kasur saya terguncang-guncang, seolah monster hendak keluar dari kolongnya. Pukul empat pagi, semua penumpang dibangunkan. Agenda hari ini adalah mendaki bukit untuk melacak satwa ikonis yang dulu mengilhami mitos phoenix di dunia Barat: bird of paradise. Di tempat seindah ini, bahkan burung menyandang nama surgawi.

“Burung akan berdatangan sekitar pukul enam, lalu pergi sejam kemudian,” ujar Annalisa kepada para penumpang yang setengah jiwanya masih di kasur. Kata-kata dia berikutnya membuat saya makin berat meninggalkan selimut. “Kadang kita bisa melihat banyak burung. Kadang tidak sama sekali.”

Kami mendaki rute licin yang dialasi daun-daun basah. Matahari masih tertidur, tapi hutan sudah semarak seperti jalan-jalan di Jakarta. Burung dan serangga bersahutan, melontarkan nada-nada fauna, bersaing meramaikan rimba yang senyap dan lembap. Agak mirip orkestra tanpa dirigen. Setelah sejam, rombongan tiba di atap bukit yang ditumbuhi pohon langsing. Annalisa meminta semua orang menutup mulut. Katanya, cenderawasih sensitif terhadap suara-suara asing.

Kami dilarang berbincang, ngemil, bersin, batuk… pokoknya diam seperti anak nakal yang sedang disetrap. Selang 15 menit, seekor cenderawasih melayang pelan, lalu hinggap di dahan tinggi. Tubuhnya kemerahan dengan leher berkalung bulu kuning. Di buntutnya ada sepasang antena. Bahkan di momen magis ini, kami tak boleh mengeluarkan ekspresi gembira.

Burung mulai bernyanyi. Kontras dari dunia manusia, justru pejantan yang bersolek. Dengan bulu-bulu menawan layaknya penari Jember Carnaval, ia berdansa, mengoceh, mengeluarkan jurus-jurus rayuan guna memikat betina. Burung juga kerap berpindah dahan. Kami menanti selama belasan menit untuk bisa melihatnya lagi. Birdwatching sangat menuntut kesabaran. Tak heran kegiatan ini umumnya dilakoni kaum sepuh.

Melihat cenderawasih menarik ingatan saya pada seorang legenda: Alfred Russel Wallace. Juni 1860, naturalis tersohor ini berlayar dari Seram ke Raja Ampat. Awalnya dia berniat ke Pulau Misool di selatan Raja Ampat, tapi ketika kapalnya sudah berjarak hanya sekitar 200 meter dari pesisir, angin melemparkannya ke utara menuju Pulau Waigeo.

Waigeo berada sangat dekat dari tempat saya kini berdiri. Wallace berhasil mengumpulkan 73 spesies burung di sana, 12 di antaranya baru pertama kali dilihatnya. Entah mengapa, dia menilainya sebagai hasil yang mengecewakan, tapi setidaknya dia berhasil mendapatkan cenderawasih merah. “Berhubung saya berhasil membawa 24 spesimen Paradisea rubra,” tulis Wallace, “saya tidak menyesali kunjungan saya ke pulau ini, walau itu tidak berarti seluruh ekspektasi saya terpenuhi.”

Kisah itu saya kutip dari Malay Archipelago, karya klasik yang tak pernah usang. Melalui buku ini pula, dunia membayangkan Raja Ampat, bisa jadi untuk pertama kalinya. Dengan nada puitis, Wallace menceritakan panorama yang dilihatnya saat menyusuri teluk yang menghubungkan Gam dan Waigeo. Saya terjemahkan sebisa mungkin kata-katanya: “Tiap pulau tertutup semak dan pohon yang berkelindan dalam formasi aneh, dan umumnya dimahkotai oleh pohon kelapa yang jangkung dan elegan—yang juga bertaburan di pantai di kaki-kaki bukit—hingga membentuk salah satu pemandangan tunggal paling cantik yang pernah saya saksikan.”

A

da 27 titik penyelaman di Raja Ampat. Itu statistik 2012. Dan sumber saya hanya satu buku, Underwater Paradise: A Diving Guide to Raja Ampat.

Dalam tur pesiar Purnama, menyelam adalah aktivitas favorit penumpang. Tiada hari tanpa memasang rompi dan mengenakan sepatu katak. Di percobaan pertama, saya disambut ikan berjidat bengkak layaknya produk gagal suntik silikon. Di hari yang lain, saya menonton kawanan ikan yang mengepakkan sayapnya seperti elang. Hari lainnya lagi, ada ikan yang tubuhnya bermotif zebra tapi wajahnya mirip wombat.

Menyelam seperti membuka pintu ke dimensi yang berbeda. Alam bawah laut bagaikan dunia asing yang bergerak paralel dengan dunia manusia. Ada di sekitar kita, tapi memiliki orbitnya sendiri. Terpisah, tapi di saat yang sama terpaut. Lebih tepat disebut jukstaposisi ketimbang koeksistensi.

Uniknya, ada banyak kesamaan karakter di antara kedua dimensi tersebut. Satwa laut senantiasa saling mengancam, menjebak, menipu, dan berebut rumah. Senjatanya pun beragam: barisan gigi mirip gergaji, kamuflase tubuh dengan lingkungan sekitar, berpura-pura baik, atau beramai-ramai mengeroyok korban. Di sini tak ada aparat. Hukum satu-satunya disebut rantai makanan. Pengadilannya bernama seleksi alam.

Kenapa laut Raja Ampat begitu kaya, ada banyak teorinya. Konstelasi pulau ini bertindak layaknya saringan bagi arus kaya nutrisi yang mengalir dari Samudra Pasifik menuju Hindia. Karang merekah di banyak tempat dan menyediakan rumah bagi banyak satwa. Tapi yang paling mencengangkan bukanlah keragaman penghuninya, melainkan terbukanya peluang untuk menyingkap rahasia-rahasia baru: taksonomi satwa di Raja Ampat belum final. New Guinea, pulau terluas kedua, adalah satu dari sedikit teritori di bumi yang belum tuntas dieksplorasi. Raja Ampat hanyalah serpihan kecilnya. Tapi bahkan di sini berita penemuan spesies baru kadang masih terdengar.

Di atas perairan yang penuh misteri itulah Purnama berkelana selama tujuh hari: dari Sorong, kapal bergerak ke barat, lalu ke selatan, kemudian memutar ke lokasi awal. “Rute tur bisa berubah mengikuti permintaan tamu,” kata Annalisa, “tapi lebih sering karena menyesuaikan dengan kondisi arus.”

Pinisi anggun ini umumnya bergerak di malam hari, membelah gulita Papua yang begitu pekat, hingga langit dan laut seolah melebur di batas cakrawala. Di momen-momen itulah saya kerap menghabiskan waktu di geladak seraya menanti tarian cahaya di angkasa, berusaha membayangkan apa sebenarnya yang dilihat Wallace 154 tahun silam. “Saya menyaksikan sesuatu yang menyerupai Aurora Borealis,” tulisnya, “kendati saya sulit percaya fenomena itu bisa terjadi di tempat yang berada sedikit di selatan ekuator.”

Agaknya saya berharap pada waktu yang keliru. Wallace mendarat di Raja Ampat pada pertengahan tahun, sementara Purnama beroperasi di sini sejak akhir hingga awal tahun, periode yang memang ideal untuk pesiar.

Di tiap titik transit, penumpang menyelam. Kadang satu kali. Sering kali lebih. Tapi Purnama bukanlah kapal untuk penyelam garis keras. Kapal ini memang menyambangi surga-surga kaum petualang, tapi suguhannya lebih dari sekadar petualangan. Dalam banyak hal, Purnama adalah tentang kebersamaan di sesi sarapan, berjemur sembari membaca novel, canapĂ© menjelang senja, juga bir dingin di dek yang terik. Sebuah Orient Express di atas laut.

Di malam kedua, penumpang berkumpul di meja makan yang diterangi lilin. Sesi akrab ini berhasil melumerkan kebekuan yang tersisa dari hari kemarin. Kami mulai berbagi cerita, menyamai benih pertemanan, juga bertukar lelucon. Kelar melahap menu penutup, Annalisa melontarkan opsi kegiatan untuk esok hari, lalu kami dibiarkan memilih dan bermufakat. Pelaut Bugis mungkin tak pernah membayangkan pinisi bisa dipakai untuk piknik.

W

aktu tempuhnya dari Jakarta hanya lima jam, namun Raja Ampat seperti terpisah jarak ribuan tahun. Kepulauan ini menyimpan memori purba yang membuat kita membayangkan momen-momen primal: penciptaan bumi, evolusi alam, dunia sebelum manusia. Di sini tak ada minimarket. Tak ada pula sinyal telepon. Sebuah Disneyland tanpa Disney.

Mengendarai speedboat, saya dan beberapa tamu menghampiri kubah-kubah yang berbaris di sisi barat. Tebing berlembar-lembar menjulang, membelah-belah lautan, membentuk kompleks labirin yang magis. Di lereng bagian atas, pohon-pohon berebut tempat berpijak. Dari balik rimbunnya daun, burung-burung menyeruak akibat terusik kehadiran kami.

Perahu bermanuver zigzag, berusaha menghindari tebing yang fasadnya mirip gigi hiu. Semakin jauh ke perut labirin, air yang terperangkap melahirkan sejumlah laguna berair tenang. “Seperti seprai kasur, begitu orang Istanbul menyebut air yang tak berombak,” ujar seorang penumpang.

Tur laguna ini membuat saya berulang kali larut dalam lamunan. Pulau-pulau kosong, karang yang merekah di kakinya, satwa-satwanya… semua seolah ditata saksama guna memunculkan kekaguman yang universal: bahwa lanskap ini diciptakan dengan kemampuan Photoshop yang transendental.

Tapi, benarkah kondisinya selalu demikian?

Dulu, saya membayangkan Raja Ampat sebagai situs yang membeku dalam waktu, menolak mengikuti daerah-daerah di sekitarnya yang bergegas mengejar hari esok. Kenyataannya, mesin-mesin pariwisata telah menancapkan kukunya di sini. Sejumlah resor menyempil di pantai, pondokan kayu dikerek di desa-desa, dan perahu penyelam berseliweran. Purnama adalah pendatang terbaru, tapi pastinya bukan yang terakhir.

Tempat yang sempat tenggelam pasca-Perang Dunia II ini kembali terendus radar dunia sekitar 20-an tahun silam. Max Ammer yang memulainya. Pria Belanda ini mendarat di Raja Ampat pada 1989 untuk berburu relik Perang Dunia II. Tersadar tempat ini punya harta yang lebih bernilai ketim-bang bangkai pesawat, Max beralih profesi dengan mendirikan sebuah resor.

Pariwisata berjasa menempatkan Raja Ampat dalam orbit dunia. Tapi terbukanya akses dan informasi juga berarti terbuka-nya peluang-peluang lain, termasuk untuk merusak. Di kawasan yang berstatus zona konservasi ini, kita pernah mendengar berita perburuan hiu, pembukaan tambang nikel, juga pembabatan hutan.

Gesekan langsung akibat bisnis pariwisata juga terjadi. Saat saya datang, Pulau Wayag diblokade warga yang merasa tidak mendapatkan potongan adil dari kue manis turisme. Purnama pun terpaksa mengurungkan niatnya ke sana.

Saya coba memahami protes warga. Merujuk catatan lembaga riset Kata Data, Raja Ampat menyetor Rp3 miliar per tahun dari sektor pariwisata dan memiliki potensi tangkapan ikan Rp126 miliar per tahun. Realitasnya, kepulauan ini justru bertengger dalam daftar 183 wilayah ter-tinggal. Di tanah yang ditinggali burung surgawi, kita ternyata masih mendengar kisah-kisah lirih. Bahkan nirwana tak bisa lepas dari nestapa.

Tapi perjalanan ini juga mengembuskan harapan. Dari beberapa kali menjelajahi kepulauan di Indonesia, yang jumlahnya tentu kalah banyak dari pulau dalam catatan Lawrence Blair atau Wallace, untuk pertama kalinya saya mengalami proses pemeriksaan petugas. Selama seminggu di Raja Ampat, setidaknya ada tiga institusi yang mengutus aparatnya untuk mengecek kelengkapan dokumen kapal dan tamu.

Ketatnya pemeriksaan bisa jadi terkait regulasi baru yang dilansir Pemkab Raja Ampat untuk memproteksi hiu, manta, dan penyu. Penetapan suaka ini memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi jagawana untuk menindak pemburu ilegal. Memang, ada banyak lubang antara aturan dan penegakan di lapangan. Tapi Raja Ampat setidaknya telah mengambil inisiatif untuk menutupnya.


T

rip pinisi mendekati hari-hari terakhirnya. Suasana telah cair. Di depan meja makan, penumpang duduk berbaur, tak cuma merapat ke orang terdekat. Hotel terapung ini telah menciptakan sesuatu yang jarang diciptakan oleh hotel sebenarnya: lingkaran pertemanan baru.

Purnama kini berputar ke utara, kembali memasuki jantung kepulauan. Beberapa kali saya melihat kapal berbadan fiberglass. “Siapa yang mau naik kapal seperti itu?” ujar penumpang asal Amerika. “Terlihat dingin dan kaku. Tidak cocok untuk menjelajahi kepulauan ini.” Saya berusaha memahami maksud kata-katanya.

Kapal-kapal fiberglass mungkin terasa mengganggu karena merupakan simbol modernitas. Dan kita ingat, modernisasi merupakan upaya manusia untuk menjaga jarak dari alam, lalu menciptakan teknologi untuk mengendalikannya. Di Raja Ampat, yang terjadi justru sebaliknya: kita ingin mengubur jarak; kita ingin menyelami alam. Analogi sederhana mungkin bisa menjelaskan pendapat teman saya: menaiki kapal fiberglass di Raja Ampat seperti mengendarai Ferrari saat melewati sawah-sawah di Ubud. Pinisi mungkin terlihat renta, tapi di Raja Ampat, di mana waktu seolah membeku, ia adalah kendaraan yang sempurna.

Sehari sebelum Purnama kembali ke Sorong, kami menyelam di perairan Pulau Kri, di mana para peneliti dulu menemukan konsentrasi ratusan spesies koral hanya dari satu penyelaman. Malam harinya, Annalisa merelokasi tempat makan. Kami dibawa ke Pulau Gam untuk menikmati sajian di tepi pantai. Dalam balutan sinar jingga lilin, koki menyuguhkan seafood kebab dan bebek betutu, lengkap dengan sambal uleknya.

Purnama lebih dari sekadar tur lintas pulau, bukan semata singgah dari satu titik selam ke titik lainnya. Diving memang aktivitas utama, tapi pengalaman yang terus bertahan setelah tur berakhir adalah persahabatan yang terjalin di atas kapal. Penumpang saling bertukar alamat email dan membuat janji-janji untuk bertemu kembali, suatu hari nanti.

Dalam 154 tahun terakhir, Raja Ampat memang bicara hal yang sama: tentang keindahan yang sulit ditampik, tentang lanskap yang menyulut kontemplasi. Yang jadi soal bukanlah apa yang bisa kita nikmati di sini, melainkan bagaimana kita menikmati. Di atas kapal tradisional Bugis yang dulu menebar teror, saya mengarungi kepulauan yang memikat takjub dunia. Ironi, untuk pertama kalinya, terasa menyenangkan.



Tempat Wisata Green Canyon Cukang Taneuh

  Asal Usul Nama Cukang Taneuh Masyarakat setempat menyebutnya sebagai "Cukang Taneuh" bahasa Sunda yang berarti Jembatan Tanah, ...